Simbok dulunya adalah seorang pendidik di sebuah elementary fullday school, jadi sedikit banyak ada pengalaman mengenai anak-anak ketika di sekolah. Mulai dari tingkah polah saat pembelajaran, ketika ulangan harian, ataupun perihal pergaulan keseharian mereka.
Pernah suatu hari, murid perempuannya datang terlambat dengan pakaian berantakan, jilbab miring dengan anak rambut keluar ke wajah, lengan panjangnya tidak dikancingkan, rok yang dikenakan sudah di atas mata kaki, tidak berkaos kaki, dan tali sepatu tidaj terkait. Komplit. Amburadul kalau untuk ukuran murid di sekolah ini. Apalagi jika ingat kalau dia anak pasangan dokter yang kaya raya. Papanya spesialis jantung dan mamanya dokter gigi.
"Ndhuk, tumben terlambat? Biasanya datangmu paling pagi," Simbok guru mengerutkan dahi saat papasan di lorong sekolah. Matanya pun mengitari gendhuk murid dari ujung kepala hingga kaki. Kemudian berakhir dengan mengelus dada.
"Iya, Bu. Bangunnya kesiangan." Gendhuk murid menjawab pertanyaan gurunya, jemari tangan kanan menggaruk rambut di balik jilbab yang dikenakan. Tersenyum lebih terkesan nyengir.
"Memang semalam tidur jam berapa, Ndhuk?"
"Jam satuan, Bu." Santai saja menjawab pertanyaan Simbok, padahal sang guru sudah mendelik mendengar jawaban polos seakan tanpa dosa itu. Terbelalak tak percaya murid kelas lima ini baru tidur pukul dua dini hari.
"Ngapain?" reflek simbok bertanya.
"Bu, boleh masuk kelas dulu? Nanti saya kena marah Bu Niswa," gendhuk murid meminta ijin memutus percakapan.
"Lhah? Memang datang terlambat ya wajar kalau dimarahi. Tapi tergantung penyebab keterlambatanmu juga. Ya sudah, sana segera masuk kelas. Nanti ketika jam pelajaran Ibu, kamu harus cerita."
"Siap." kemudian tangan kanannya menghormat laiknya hormat bendera.
***
"Ya ampun, ngapain kamu ke warnet sampai jam segitu?" sontak simbok bertanya begitu mendengar pengakuan murid tomboinya ini. Seakan sesuatu yang biasa dia lakukan, pukul 11 malam seorang gadis kecil berumur 11 tahun, masih terdaftar sebagai murid kelas 5 sekolah berbasic agama baru keluar dari warnet seorang diri.
"Menyelesaikan tugas, Bu tapi lebih banyak selingannya ding, nonton Komik."
"Apa, Ndhuk?" ulang simbok meyakinkan pendengarannya.
Rara, nama murid itu hanya menyunggingkan senyum. Sadar kalau perbuatannya salah, namun juga meminta pemakluman.
"Eng, nonton komik online, Bu," ulangnya lirih.
Simbok tak tahu lagi harus bagaimana terhadap gadis di depannya kini. Murid yang berotak cerdas, percaya diri, dan cantik. Hanya saja dia tomboi dan sangat membenci kedua orang tuanya.
(to be continue)