"Ndhuk, tanggal 7-8 nanti ada lomba di Blitar. Mau ikut?" tanya simbok sepulang menjemput si gendhuk latihan karate di dojo.
"Lomba apa, Mbok?" gendhuk melepas sandal gunung yang telah usang.
"Lomba karate se-eks Kabupaten Blitar. Nanti kalau iya ikut, kita bisa nginap di rumah paklikmu," Simbok menunjukkan sebuah file pdf yang baru saja di-share oleh sinpei.
Gendhuk Hanin meminta gawai di tangan simbok untuk membaca pengumuman dari pelatihnya.
"Wah ada medalinya, Mbok. Mau ... mau, Ndhuk mau ikut." Binar matanya bersinar semangat.
"Ijin sana sama Bapak!"
Gendhuk segera berlari masuk rumah mencari sosok lelaki yang dihormati. Setelah ketemu, gendhuk perlahan mendekat.
"Bapak, tanggal 7-8 ada lomba karate di Blitar. Ndhuk boleh ikut?"
"Memang kamu siap?" Bapak meletakkan gawai yang tengah dibaca. Menoleh ke simbok yang telah duduk di sampingnya, meminta penjelasan sekaligus persetujuan.
"Biar dicoba, Pak. Lagian tanding kemarin kan sudah bagus. Sudah saatnya menguji diri dengan karateka luar kota."
"Ya sudah, boleh ikut. Tapi syaratnya harus sering masuk latihan."
"Siap!" jawab gendhuk spontan sambil berlari menuju kamarnya.
"Kopi, Pak?" tanya simbok seraya bangkit karena mendengar teko air rebus sudah berbunyi.
"Teh manis saja, Mbok."
Simbok segera meracik teh celup dengan satu setengah sendok gula pasir di gelas besar.
"Terus berangkat dan pulangnya bagaimana, Mbok?"
"Bagaimana kalau naik kereta api, Pak? Sekalian biar gendhuk tahu rasanya naik kereta."
Bapak mengeryitkan dahi, "Apa tidak mahal tiketnya, Mbok? Bulan-bulan ini Bapak belum bisa kasih uang banyak, Mbok tahu sendiri sawah belum musim panen."
"Ya gak tahu juga, Pak. Wong Simbok naik kereta dulu juga gak bayar alias gratis. Itupun juga sudah lama," simbok meringis.
"Cari tahu dulu, Mbok. Buliknya gendhuk seingat Bapak sering mudik naik kereta."
Simbok sudah berselancar di Mbah Google, tanya harga tiket kereta api. Klik sana, klik sini sampai hampir waktu Isyak.
***
"Nanti jangan takut nendang ya, Ndhuk. Begitu ada kesempatan langsung tendang. Paham?" simbok mewanti-wanti atlit kecilnya.
"Enggak usah kawatir, lawan juga belum tahu kemampuanmu. Jadi berusahalah sebaik yang kamu bisa."
Gendhuk melompat-lompat melakukan pemanasan setelah memakai karategi standar WKF. Nampak ada kecemasan di wajahnya.
"Jika kamu menang di babak penyisihan, nanti ketemu karateka Yonif 521. Semangat!"
"Iya, Mbok. Grogi ini."
"Suantai saja, Ndhuk. Cuma satu menit. Pukul atas dan bawah, tendangan kaki juga. Tapi menghindarnya jangan lupa," sahut Bapak.
"Geh."
"Persiapan pertandingan babak final kumite BB -30 dan +30 kg kelas 1-3 di tatami 2. Menempati pita merah Desuha Mulia dari Inkanas Yonif 521 melawan pita biru ditempati oleh Neswa Hanin dari KKI Polres Nganjuk."
"Bismillah, insyaallah bisa!" Simbok menyemangati sambil menggendong tole Al saat gendhuk salim menuju tatami. Kondisi arena yang berdesakan penonton tidak memungkinkan simbok membawa tole melihat langsung pertandingan mbakyunya. Hanya suara dari loudspeaker yang menjadi acuan simbok. Mulutnya tak berhenti melafazdkan tiga surat Kul. Berharap Yang Maha Kuasa sudi memperlancar gendhuk menuju kemenangan.
"Dimenangkan pita biru atas nama Neswa Hanin dari KKI Polres Nganjuk," suara panitia membacakan hasil pertandingan.
"Alhamdulillah, terima kasih ya Allah," tak terasa sebutir kristal bening membasahi pipi simbok.
"Mbakmu menang, Le. Alhamdulillah. Tepuk tangan," simbok mengecup pipi gimbulnya. Tole Al pun bertepuk tangan dan tertawa.
***
"Gigit medalinya. Satu dua tiga, gigiiit!" aba Bapak saat memfoto gendhuk di podium.
"Sudah?" tanya gendhuk.
"Ayoh, katanya pulangnya naik kereta api," gendhuk lebih bersemangat dari pada awal tanding tadi.
"Masih sempat tidak, Pak. Sekarang sudah pukul 12.08 WIB sementara kereta api Brantas berangkat pukul 12.50 WIB?" simbok mulai berkemas.
"Buka gmaps, Mbok. Butuh berapa menit dari sini ke stasiun?"
Simbok bercucuran keringat saat dibonceng bapak mengejar waktu. Apesnya lagi, sinyal sedang tidak bersahabat pula. Ngebut menuju stasiun dengan modal perkiraan yang diintip di gmaps tadi malam.
"Loketnya sebelah mana, Pak? Simbok turunkan dulu, biar bisa beli tiket," teriak simbok begitu ban roda depan motor melindas paving stasiun. Tole dalam gendongan didekapnya, diajak setengah berlari. Gendhuk pun mengikuti di belakang sambil membawakan tas slempang simbok.
"Mana ini," gumam simbok.
"Itu, Mbok. Ada tulisan loket," seru gendhuk yang nampaknya juga kawatir ketinggalan kereta.
"Keluarkan map dan dompet Simbok, Ndhuk." Keduanya berlari ke mbak cantik di balik meja loket.
"Selamat siang, ada yang bisa dibantu?" sapa si mbak, ramah.
"Mau tiket kereta api Brantas kelas ekonomi. Masih bisa?" tanya simbok sambil debaran jantungnya kencang.
"Sebentar ya, kami cekkan dulu."
Waktu boarding pass tinggal 12 menit lagi, degup jantung simbok kian cepat. Jika kali ini terlambat mereka harus menunggu kereta yang berangkat pukul 15.00 WIB atau pukul 19.00 WIB. Jika berangkat pukul 15.00 WIB, harga tiketnya dua kali lebih dari harga tiket gerbong ekonomi Brantas ini. Sementara jika berangkat pukul 19.00 WIB masih terlalu lama waktu tunggunya, 6 jam.
"Berapa tiket, Ibu?" pertanyaan si mbak melegakan.
"Saya, Gendhuk ini, dan Tole," tunjuk simbok pada kedua anaknya.
"Pinjam KTP dan KK, Bu"
Secepatnya simbok menyerahkan apa yang diminta.
"Ini ya, Bu. Dua tiket dewasa dan satu tiket balita. Saya ulangi identitasnya atas nama Tanti dan Neswa Hanin, sementara yang balita atas nama Al."
"Ya, betul."
"Seratus enam puluh ribu, Ibu."
"Ini," tiga lembar uang lima puluhan dan selembar uang sepuluh ribuan simbok berikan kepada si mbak.
"Terima kasih. Langsung menuju boarding pass ya, Bu."
"Kurang berapa menit?" tanya Bapak saat kembali dari memarkir motor dan tahu simbok sudah membawa tiket.
"Sepuluh menit lagi. Beli roti masih sempat tidak ya, Pak?" menunjuk gerai roti.
"Mbok ke pintu boarding dulu, tapi jangan masuk kereta. Kalau cukup waktunya Bapak antar, kalau gak cukup ya langsung naik kereta saja," Bapak berlari menuju gerai roti merk salah satu huruf alfabet itu.
"Kereta api Brantas, Ibu? Saya lihat tiket dan identitasnya ya," simbok hanya mengangguk, menyerahkan tiga tiket dan identitas di tangannya. Bola matanya melihat luar, menanti Bapak.
"Baik Bu, gerbongnya sebelah sana ya."
"Ini, Mbok. Alhamdulillah masih cukup waktunya," tiga buah roti berbungkus kertas yang dimasukkan dalan kantong plastik diserahkan Bapak.
"Alhamdulillah," gendhuk yang sedari tadi hanya diam dan kawatir ketinggalan kereta akhirnya bersuara. Wajahnya sudah sumringah.
"Akhirnya, Ndhuk. Keturutan juga kamu naik kereta api," keduanya tertawa, bergandengan menuju gerbong kereta yang 4 menit lagi melaju dari Stasiun Blitar ke Stasiun Pasar Senen melewati banyak stasiun. Stasiun Nganjuk salah satunya dan berhenti beberapa menit untuk menurunkan penumpang. Simbok, Gendhuk, dan Tole diantaranya.
Segala sesuatu, sekecil apapun butuh perjuangan. So, jangan pernah berhenti atau lelah untuk meraih sebuah impian.
Graha Arjuna Garden,
Stasiun Blitar, dan Stasiun Nganjuk
Karate Blitar Open Tournament
Piala Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar
7-8 September 2019
Catatan :
Dojo : istilah untuk tempat/gedung latihan karate
Karategi : baju karate
Tatami : alas arena tanding karate
Kumite : jenis pertandingan karate, dua atlit saling berhadapan
Sinpei : istilah untuk pelatih karate
Gendhuk : panggilan untuk anak perempuan (Jawa)
Simbok = ibu (Jawa)
Tole : panggilan untuk anak laki-laki (Jawa)
WKF : World Karate Foundation
36 Comments
Btw, beberapa kali ke Indonesia bagian barat tapi belum pernah naik kereta api 🙈🙈🙈
BalasHapusHayuk, ke Jawa lagi. Nanti dipuas-puasin naik keretanya
HapusWaduh jadi Inget waktu kejurda karate 3 tahun yang lalu 😂
BalasHapusAtlit karate? Wah nanti pas kopdar asyik nih, gendukku bisa minta ilmunya
HapusCerita yang maniisss 😍
BalasHapusSemanis simboknya ini 😁
HapusWah jadi inget jaman november 2016. Udah pulang traing lebih awal, ndak tahunya banjir. Eh untung sampai di stasiun dalam sejam. Wkwkwkw.
BalasHapusIya, rasanya senam jantung. Tapi syukurlah bisa jadi cerita
HapusWah....., selamat buat mbak Hanin. Tetap semangat ya!!!!!
BalasHapusSiap, Budhe.
HapusBarakallah 😍
BalasHapusManis ceritanya 😅
Terima kasih, Mbak
HapusMb res hebat udah bisa panjang gini..
BalasHapusDipotong itu, ternyata malah membuat alurnya lompat 😂
HapusWah.. Keren..
BalasHapusKapan kapan kopdar yuk..
Aku di banyuwangi.. Hehe..
Wow Banyuwangi, semoga dimudahkan untuk bisa ke sana ya, Cak
HapusWow keren
BalasHapusTerima kasih, Nyi
HapusKeren... Ceritanya khas banget, bagus dan bermakna... Harus banyak bealjar nih dari mbak mei soal penulisan cerpen 😁😁😁
BalasHapusHayuk, sama-sama belajar
HapusNever give up pokoknya 💪💪
BalasHapusSiap!
HapusBacanya sambil membayangkan ini itu,Btw aku juga lama banget nih belum baik kereta api lagi. Terakhir tahun 2005. Hmhmm
BalasHapusBacanya sambil membayangkan ini itu,Btw aku juga lama banget nih belum baik kereta api lagi. Terakhir tahun 2005. Hmhmm
BalasHapusBacanya sambil membayangkan ini itu,Btw aku juga lama banget nih belum baik kereta api lagi. Terakhir tahun 2005. Hmhmm
BalasHapusHayuk, Mbak naik kereta api lagi
Hapusrasanya tuh deg degan kalau mau naik kereta waktunya mepet gitu ya. salam ke al mbak ��
BalasHapusIya,senam jantung 😂
HapusSalam kecup dari tole Al nih
Semangat nulis kk
BalasHapusAlways Kakak
HapusMeninggalkan jejak. BOGOR 7:36 PM 10-09-19
BalasHapusTerima kasih, jejaknya diterima
HapusKrisannya sdh di WAG saat bedah tadi ya... Lain kali silahkan tulisan saya ganti diacak²!
BalasHapusSemangat yuuks sinau bareng.
Sip, terima kasih Mbak.
HapusSiap, nanti kita bedah bareng2
Kereta adalah favourite saya, Ka.🤣
BalasHapusWah berarti sudah sering naik ya
HapusPosting Komentar
Terima kasih telah berkunjung ke dwiresti.com. Mohon tinggalkan komentar yang membangun dan tidak berbau SARA.