Angin berhembus menggulung menyusup ke rongga ruang tempat beberapa onggok putih berada. Mereka hanya mampu menggelinjang menggeliat tanpa berdaya melindungi diri. Tak bisa bergerak kemana, hidup hanya mengharap belas kasih dari para pekerja. Lemah.
"Hayolah, sampai kapan kita seperti ini? Menjadi beban saja," seru kesal Amo, sosok yang lebih kecil. Kebosanannya telah memuncak, setiap detik hanya berdiam diri, tak seperti sekumpulan yang berlalu lalang di hadapannya. Rasanya sudah tak betah ingin segera bergabung.
"Tenanglah, sebentar lagi tangan dan kaki kita segera kuat. Sabarlah," teriak Rego menimpali.
"Kapan? Rasanya aku sudah berbulan-bulan buntung seperti ini?" dengus Amo kesal.
"Diamlah sebentar, mereka datang. Kalau berisik kau akan dapat jatah makan sedikit. Diam!" Rego memberi isyarat Amo juga yang lain agar diam.
Keduanya pun diam, berpura-pura manis menyambut segerombolan pembawa makanan. Satu per satu pembawa makanan membagi sesuai jatah yang telah terdaftar. Ada yang mendapat makanan terbaik dalam jumlah banyak. Ada pula yang mendapat menu standar dengan skala wajar, namun ada juga yang mendapat dalam jumlah sedikit dengan menu ala kadarnya.
"Hei, apa-apaan ini? Mengapa aku hanya diberi makanan sampah seperti ini? Aku mau seperti punya dia!" ditepisnya sang pembawa makanan di hadapan. Matanya mengerjap ke menu Rego di sebelah.
"Nona, berikan saja punyaku. Biarkan aku yang makan bagiannya."
"Tidak bisa. Semua sudah diatur. Tidak boleh salah atau tertukar." Pembawa makanan menjawab tegas, tak ada kompromi.
"Sudah kubilang aku tak mau!" Namun kenyataan sekuat apa pun ia menolak tetap harus mengakui kekuatan trophallaxis.
Waktu demi waktu berganti dan berlalu terasa lambat bagi Amo. Penolakan demi penolakan yang dia lakukan yang berefek sama sekali. Tubuhnya berkembang lambat dibanding Rego. Dulu dia tak perlu mendongak saat ngobrol, kini? Bahkan tingginya setengah dari tinggi Rego. Pun badannya. Hal ini tambah membuat Amo kian mengamuk. Pilih kasih, begitu yang sering Amo teriakkan.
Rego yang tak tahu apa-apa menjadi serba salah, puncaknya ketika tadi pagi sebuah perintah dari sang pemimpin bahwa Amo harus melayani Rego.
"Amo, maafkan aku." Rego melangkah membelakangi kawan karibnya saat sama-sama tak berdaya. Ada sedikit was-was menanggapi ekspresi Amo tadi.
"Haha, nasib sudah ditentukan rupanya. Takdirku melayanimu sudah dimulai, tapi maafkan kali ini aku tak mau melakukannya."
"Amo," kedua jemari tangan Rego berusaha meraih tubuh Amo, namun gesit Amo menghindar dan melangkah pergi.
"Setidaknya, lakukanlah ketika Ratu bersama kita. Setelah itu kau mau melakukan apa saja terserah. Aku pun tak akan menuntutmu patuh."
"Haha, kenapa? Kau takut kehilangan seorang pekerja sepertiku?"
"Sungguh bukan. Amo masihkah kau ragukan persahabatan kita?" Rego menarik napas panjang.
Meski kini posisinya lebih menyenangkan namun sikap Amo justru membuatnya menyesal. Rego merutuki diri tak bisa menolak takdirnya. Pasti semua akan berbeda seandainya dia pun menolak adanya perbedaan trophallaxis seoerti yang dilakukan Amo. Namun dirinya tak punya nyali secuilpun. Ketakberdayaan membuatnya sendika dawuh tanpa ada gejolak pemberontakan seperti karib kecilnya.
Kasta-kasta ini sungguh membuat Amo semakin yakin dengan usahanya. Statusnya harus diubah. Dari semut pekerja menjadi ratu semut. Atau mengambang di samudra larva yang baru menetas lebih dipilihnya daripada melayani tanpa keridhaan hati.
~~Meitanti~~
Trophallaxis : cara memberi makan dengan tranfer makanan atau cairan lain dengan cara dari mulut ke mulut. Umumnya dilakoni oleh komunitas semut, tawon, rayap, dan lebah.
6 Comments
Dahsyat. Eksplorasi surealistiknya wokeee abiss
BalasHapusWow fabel
BalasHapusSuka film tentang "ant"
BalasHapusKalimat ini membuatku bingung 😵"Meski kini posisinya lebih menyenangkan namun sikap Amo justru membuatnya menyesal Rego merutuki diri tak bisa menolak takdirnya."
BalasHapusHaha... kurang sebuah tanda baca antara kata menyesal dan Rego
HapusInget semut inget surah dalam Alquran "An-naml"
BalasHapusPosting Komentar
Terima kasih telah berkunjung ke dwiresti.com. Mohon tinggalkan komentar yang membangun dan tidak berbau SARA.