"Sudah kubilang dari awal, jangan menikah dengan perempuan gabug itu. Kamu saja yang tak menggubris mbakyumu ini."

Tajam dan lukanya sungguh sangat perih dirasakan Ayu saat mendengar perkataan mbakyu Jinah, iparnya.

"Mbakyu, cukup. Yang penting sekarang bagaimana menyelesaikan masalah Gandhi. Bukan mengungkit masa lalu," Kangmas Aryo mulai kesal kepada perempuan yang seharusnya menjadi tempatnya bersandar sejak kepergian ibu tercinta.


***


Hampir enam tahun pernikahan Ayu dengan Aryo namun tak jua seorang momongan hadir diantara mereka. Segala usaha sudah dilakoni pasangan guru ini. Periksa ke dokter kandungan, program kehamilan, hingga pijat ke dukun sesuai arahan banyak orang. Nihil. Setiap bulan masih saja Ayu menerima tamu bulanannya.

"Kangmas, apa mungkin benar omongan mbakyu Jinah ya? Aku ini perempuan gabug, mandul gak bisa punya anak?" nampak Ayu mulai putus asa dengan segalanya. Berbagai macam usaha yang selalu gagal ditambah sindiran bertubi dari kakak perempuan suaminya. Keceriaan dan semangat hidupnya terkubur entah kemana.

Ayu yang supel, Ayu yang suka bercanda, dan Ayu yang optimis berubah menjadi sosok pendiam, penuh mendung kelabu. Minder dan enggan bersosial.

"Hus, gak boleh bilang seperti itu, Dik. Semuanya sudah diatur sama Yang Kuasa. Tugas kita hanya berusaha dan berdoa. Titik. Gak ada yang lain apalagi mengeluh." Aryo menarik tubuh Ayu dalam dekapan. Ia tahu bagaimana posisi Ayu yang selalu dipojokkan. Kesibukan dan kariernya yang kian tinggi menjadi bahan bully mbakyunya yang sejak semula tidak merestui pernikahan mereka.

"Ayu berhenti bekerja saja, ya? Siapa tahu omongan mbakyu Jinah benar kalau pekerjaannku yang menghalangi kita punya momongan. Setelah aku lihat, benar juga. Badanku kurus kering, gak ada dagingnya mana bisa ditumbuhi daging calon jabang bayi."

Aryo mengeratkan pelukannya. Perempuan tercintanya tengah frustasi. Hal yang dirasakannya juga. Di batas kemampuan bertahan pasangan suami istri ini hanya tinggal kepasrahan. Hari-hari dilalui dengan tawakal kepada Sang Khalik, Tuhan Maha Pencipta. Kun, maka terjadi atas kehendakNya.

Kemarau panjang pasti akan menemui hujan meski hanya setetes. Begitu pun air mata akan menemukan senyumnya. Sore itu, pengharapan telah menemui muaranya. Seorang bayi tampan  menghujani kerontang hati Ayu dan Aryo dengan tangisan bahagia. Kado terindah menjelang delapan tahun ikrar suci di hadapan penghulu.

Kini detik demi detik kebersamaan dengan Gandhi merupakan waktu terindah yang dirasakan. Selain mengajar, Ayu tak ingin berjauhan dengan putra tercinta. Selagi bisa diajak, maka Gandhi akan dilibatkan dalam setiap aktivitas. Mulai beberes, memasak, sampai berbelanja di warung dekat rumah. Petaka mulai datang kala Gandhi tak bisa diam, lari ke sana ke mari. Memainkan barang-barang di hadapannya dan melempar jika bosan. Tak merespon ketika diajak bicara juga tak sepatah kata terucap dari mulut mungilnya. "Gandhi anak autis" atau "Gandhi bisu" sering tanpa sengaja Ayu dengar kala berbelanja.

Kembali awan kelabu memayungi cerahnya sang mentari. Suram seperti hari-hari Ayu yang kembali frustasi mengajarkan putra semata wayangnya mengeja kata. Gandhi tak bisa fokus dan seakan tak mendengar. Tiba-tiba pikiran itu berkelibat di benak Ayu.

"Apa mungkin anakku tak bisa mendengar?" Segera Ayu berlari ke gudang. Membongkar mencari sebuah kardus yang disimpannya beberapa waktu lalu setelah tahun baru. Dia yakin masih punya dan menyimpannya.

"Dor ... duorrr ... dor" letupan petasan sengaja di dekatkan Gandhi yang asyik bermain mobil-mobilan. Hingga akhirnya Ayu terisak dan memeluk erat buah cintanya dengan Aryo. Kenyataan pahit kembali harus ditelannya, Gandhi tak terkejut dengan letusan petasan di dekatnya. Gandhi tuli.