"Stop!" teriak Panji menghadang sepeda motor yang dikendarai Ratna saat melintas area persawahan tak jauh dari sekolah setelah pulang. Karena kehadiran Panji yang tiba-tiba muncul dari pematang sawah, sepeda motor Ratna sedikit oleng ketika harus menarik rem mendadak. Beruntung tidak sampai jatuh.

"Apa-apaan kamu, Panji. Lihat Ibu hampir saja jatuh." Ratna menepikan motor. Kecemasan tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuh. Panji berani menghadangnya di tengah sawah dandalam  keadaan jalan sepi. Bayangan kejadian saat Panji mendekap Deva membayang di depan mata. Dilihatnya Panji semakin mendekat dan dia tahu wajah itu menyiratkan sesuatu.

Tangan Panji menelusup di balik saku tas cangklong usang. Mencari sesuatu. Perlahan ia tarik keluar. Pandangan mata beralih pada guru perempuan di hadapannya.

Sementara Ratna yang mulai dihantui rasa takut tak bisa berkedip melihat ke arah benda yang disodorkan.

"Apa maumu?"
"Lihatlah. Ini saya pinjam dari Doni. Milik bapaknya."

Ratna masih tak bisa mengerti dengan apa yang Panji katakan. Kedua alisnya bertaut pertanda tengah berpikir keras. Belum bisa menemukan kaitan antara sekeping kaset DVD pemberian Panji dengan bapaknya Doni. Sampai-sampai kepergian bocah yang sempat membuatnya ketakutan tak disadarinya.

"Hai, Panji. Apa maksudnya? Tunggu ...!" setengah berteriak menyadari Panji telah berjalan beberapa meter darinya.

"Benda itu penyebabnya." Tanpa menoleh ke arah Ratna sedikit pun Panji memberi jawaban.

"Ah, apa ini?" lirih Ratna. Bergantian memandang kembali benda di tangan dan punggung Panji yang kian menjauh. Sampai akhirnya seseorang menyadarkan lamunan.

"Bu Ratna, ada apa kok berhenti di tengah sawah? Ban motornya bocor?" tanya Pak Kardi, kepala sekolah tempatnya mengajar.

"Oh tidak, Pak," buru-buru memasukkan kepingan DVD ke dalam tas.
"Ini, ehm ... tadi kelilipan akhirnya minggir dulu. Takutnya jatuh kalau terus jalan."
"Oh, saya kira ada apa. Sekarang sudah bersih matanya?"
"Sudah, Pak. Ini mau jalan lagi," senyum kecil serta anggukan mampu meyakinkan Pak Kardi.

Segera dinyalakan motor dan setelah pamit, Ratna meninggalkan kepala sekolah.

Matanya terpejam bersamaan degan helaan nafas dalam setelah melihat isi DVD. Ditekannya tombol stop untuk menghentikan putaran adegan dalam keping DVD sebelum menit kedua. Dikeluarkan dari rom dan pandangannya menerawang.

"Bagaimana bapak Doni bisa seteledor ini? Atau jangan-jangan Doni memang terbiasa melihat film semacam ini di rumahnya?"

Dilihatnya jam di dinding masih menunjukkan pukul 12.30. Secepat kilat ia mengambil tas ransel, memasukkan benda terlarang itu dan pergi ke sebuah alamat. Ratna tak ingin berlama-lama menyelesaikan masalah ini.

Sepuluh menit kemudian dia sudah di depan sebuah rumah bercat putih. Ada dua sepeda motor terparkir di ters sempit sehingga sedikit menghalangi langkahnya mengetuk pintu. Ratna yakin bapak Doni masih ada di rumah, belum kembali bekerja. Ia malah berharap Doni sedang keluar sehingga bebas mencari informasi ke orang tuanya.

"Lhoh, Bu Ratna? Mencari Doni?" kekagetan tak bisa disembunyikan dari wajah perempuan 40 tahunan ketika membuka pintu.
"Iya, eh bukan. Saya tidak mencari Doni tapi ingin sedikit ngobrol dengan Ibu dan Bapak kalau ada."
"Oh. Iya-iya, mari masuk. Maaf rumahnya berantakan. Maklum kami baru pulang sekitar jam 5 sore, jadi tidak punya waktu banyak beberes rumah,"  tangannya membereskan alas meja yang berantakan dan dipenuhi bungkus serta puntung rokok. Kemudian meminta ijin memanggil suaminya yang masih tidur.

"Tidak mungkin anak saya melakukan itu. Ibu jangan main tuduh. Doni anaknya penurut. Dia juga tidak macam-macam kalau di rumah. Sembarangan!" Bentak pak Mono setelah Ratna menceritakan kejadian beberapa hari terakhir di sekolah.

Ratna mencoba menahan diri untuk tidak emosi. Diaturnya nafas untuk sedikit melonggarkan sesak di dada atas sikap bapaknya Doni, pak Mono. Yang barusan diketahuinya bekerja di sebuah pabrik, demikian juga istrinya. Mereka berbeda pabrik, namun punya jam kerja sama, berangkat pukul 6 sebelum Doni berangkat sekolah. Pulang ketika jam istirahat siang sampai pukul 13.00 dan kembali lagi ke pabrik hingga pukul 5 sore hari baru pulang. Doni 2 bersaudara. Kakak perempuannya sudah kerja ke luar kota.

"Maaf, Pak. Apakah ini punya Bapak?" disodorkannya pemberian Panji.

Ada keterkejutan di wajah pasangan ini. Sang istri melirik ke arah suaminya yang menggigit bibir. Mereka hafal betul kepingan itu karena memang ada coretan tanda khusus menggunakan spidol permanen yang mereka torehkan setiap kali baru membelinya.

"Sekali lagi, saya minta maaf jika apa yang sampaikan keliru, Pak, Bu. Tapi saya hanya ingin menyelesaikan masalah ini." Ratna memecah kebekuan diantara mereka.

"Doni mungkin tidak sengaja menemukan kepingan ini dan melihatnya. Kemudian menceritakan kepada teman-temannya dan mereka tertarik. Nahasnya ternyata mereka juga meniru adegan yang ada di dalamnya." Ratna melihat ke arah pasangan di hadapannya. Jelas tergambar penyesalan di sana.

"Yang terpenting, sudah ditemukan titik awal permasalahan ini. Tugas kita, Bapak, Ibu, dan kami para guru di sekolah adalah menghentikan keinginan mereka untuk melakukan hal yang belum waktunya. Mengawasi aktivitas mereka dan mengalihkan hasrat itu dengan hal-hal yang positif."

"Maafkan keteledoran kami, Bu. Maaf." Ibu Doni sesenggukan menangis menyesal. Demikian dengan pak Mono. Shock jelas tergambar di wajahnya namun ia juga tidak menampik kesalahan yang telah dilakukan.

"Belum ada guru di sekolah yang tahu akan hal ini. Tapi mohon maaf, saya harus menceritakan ke sekolah karena masalah ini harus diselesaikan dan melibatkan semua guru serta wali murid."

Pukul 14.00 Ratna pamit undur diri setelah disepakati jalan keluar antara keduanya.

Ada rasa hormat ketika pak Mono dan istri menelepon pihak pabrik untuk ijin tidak kembali bekerja hari ini. Mengutamakan menyelesaikan permasalah anak mereka, Doni.

Ada nafas lega yang Ratna rasakan. Esok, ia akan melihat anak-anak seperti semula. Kembali ke dunia sesuai usianya.

Secangkir teh hangat menemaninya menikmati cahaya purnama di balik jendela kamar malam ini. Tidurnya akan pulas menyongsong keceriaan esok.

(bersambung)