Desa Loceret terletak lima kilometer arah selatan dari pusat kabupaten Nganjuk. Jalan raya Nganjuk-Kediri membelah wilayah ini menjadi dua bagian, utara dan selatan jalan. Karena ramai dilalui kendaraan yang melintas dari dan menuju Kediri maka tumbuh subur area pertokoan dan pusat perbelanjaan di sepanjang jalan propinsi ini. Pasar Loceret salah satunya. Meski termasuk jenis pasar krempyeng tapi jangan ditanyakan kelengkapan jenis dagangan yang dijajakan. Mulai dari sayur mayur, buah, aneka kebutuhan sembako, daging ayam, daging sapi, ikan laut, sampai aneka gerabah rumah tangga semua ada. Mayoritas para pemilik dan penjual di pusat ekonomi rakyat ini berasal dari desa Loceret sendiri.
Parmin diantaranya. Lelaki berusia kisaran lima puluh tahun ini sudah berdagang di pasar mulai awal menikah hingga kini memiliki tiga orang anak. Sulungnya, Doni telah bekerja di sebuah gerai fried chicken terkenal di Nganjuk sejak lulus SMA dua tahun silam. Sementara anak nomor dua si Bagas duduk di kelas 6 sekolah dasar dan si ragil Satria genap berumur tiga tahun pada bulan Mei kemarin.
"Pak, pulsa dataku habis. Minta uang untuk beli lagi," ucap Bagas mengatongkan tangan kanan ketika pulang sekolah mendapati bapaknya rebahan di kursi malas di teras rumah.
"Ganti baju dulu sana, baru nanti beli pulsa," jawab Parmin sembari mengeluarkan selembar uang duapuluh ribuan pada Bagas. Semenit kemudian Bagas tengah berlari menuju counter di jalan besar dengan gawai di genggaman. Parmin dan istrinya memang memberikan gawai pada anaknya dengan dalih agar anteng dan tidak mengganggu pekerjaaan keduanya.
Ketika matahari mulai tenggelam, barulah Bagas pulang. Tidak seperti waktu berangkat, wajahnya kini ditekuk bak sandal jepit.
"Dari mana saja, Le. Jam segini baru nyampai rumah?" halus suara Dyah, istri Parmin ketika mendapati anaknya masih dalam keadaan acak-acakan.
"Minta uangnya, Bu. Pulsaku habis."
"Bukannya baru tadi pagi, Bapak kasih kamu uang untuk beli paket data?"
"Sudah habis. Cepetan! Keburu kalah ini." Bagas mengacungkan HP-nya tepat di wajah sang ibu.
"Mandi dulu, Nak,"
"Dibilangin keburu kalah masih juga banyak bicara."
"Tap ...," belum selesai Dyah mengucapkan nasihat untuk Bagas tiba-tiba kedua tangan mungil itu telah merebut dompet di saku. Mengambil selembar seratus ribuan dan beberapa lembar dua puluh ribuan kemudian berlalu meninggalkan Dyah.
"Pak, lihat anakmu ambil uang lagi. Cepetan, Pak!" teriak Dyah pada suaminya yang baru saja selesai mandi. Begitu mendengar suara sang istri, Parmin segera berlari mengejar Bagas. Hatinya geram melihat perlakuan Bagas pada ibunya.
"Bagas, sini kamu!" Napas Parmin menderu begitu mendapati anaknya tengah asyik bermain game bersama teman-temannya di sebuah warung dengan layanan free wifi. Saking asyiknya bermain, Bagas tidak mendengar teriakan sang bapak membuat Parmin semakin emosi. Tanpa basa-basi Parmin menerobos masuk dan mengambil paksa gawai dari tangan Bagas.
"Sialan! Bera ...," reflek Bagas berteriak namun langsung berhenti begitu tahu yang di hadapannya adalah bapaknya.
"Pulang! Mulai sekarang tak ada HP juga uang saku," bentak Parmin. Tangan kanannya menarik telinga Bagas untuk segera pulang.
"Enggak mau, aku gak mau pulang! Bapak jahat. Jahat!" Bagas meraung menolak diseret pulang. Kedua tangannya berpegang erat pada pinggiran meja warung. Kakinya diam tak melangkah.
"Pulang!" bentak Parmin lebih keras. Adu tarik keduanya berakhir dengan digelandangnya Bagas secara paksa. Sesampainya di rumah, Bagas mengamuk. Meraung meminta gawainya dikembalikan. Sementara Parmin bersikokoh menyitanya.
"Pak, apa enggak kasihan dengan Bagas? Dari semalam dia menangis gak berhenti-berhenti," Dyah mencoba melunakkan hati suaminya. Naluri keibuannya tidak tega mendengar suara serak Bagas dari dalam kamar. Setelah semalam Bagas menghancurkan perabot yang ada di dekatnya karena gawainya tetap disita, dia tak kunjung berhenti meraung di dalam kamar seperti orang kesurupan.
"Bu, biarkan saja. Nanti kalau capek pasti berhenti sendiri."
"Tapi, Pak,"
"Sudahlah, Bu. Sekarang kita harus segera kulakan. Jangan sampai terlambat, nanti kita dapat dagangan yang jelek-jelek." Parmin segera mengeluarkan sepeda motor bersiap pergi ke pasar Berbek, tempat mereka kulakan. Dyah tak bisa berbuat apa-apa. Meski hati kecilnya khawatir akan keadaan Bagas, namun dia juga membenarkan perkataan suami.
"Tenang, Dyah semua akan baik-baik saja."
Hari mulai terik, Dyah berulang melihat jam dinding. Sudah pukul tujuh tetapi Doni belum juga mengantar si ragil menyusul ke pasar.
"Pak, sudah jam tujuh. Satria kok belum diantar ke sini ya?" tanyanya pada Parmin setelah pembeli agak sepi. "Seingat ibu, Doni hari ini tidak libur kok. Apa gak sebaiknya Bapak lihat ke rumah?"
"Sebentar, Bu. Nanggung ini sedang belah kelapa," sahut Parmin.
"Bapak, Ibu. Bagas, Bagas Pak, Bu. Doni takut terjadi apa-apa dengannya. Cepat lihat, Pak. Bu." Doni terengah begitu turun dari motor. Sambil menggendong Satria dia berlari menuju bedak milik orang tuanya. Diceritakannya keadaan Bagas yang terus menceracau tidak jelas. Sesekali tertawa tapi sebentar kemudian berteriak tidak jelas.
"Ya Allah, Bapak. Ayo pulang, Pak. Bagas, kamu kenapa?" Dyah menangis sejadi-jadinya. Para pedagang dan pembeli di sekitarnya mengerubung ingin tahu apa yang terjadi. Sebagian hanya berdiam tanpa tahu apa yang harus dilakukan, sebagian menenangkan Dyah dengan memberi minum, ada pula yang mengambil alih menggendong Satria.
"Yes, menang. Rasakan, sudah kubilang benteng pertahananku kuat. Masih saja menantang." Satria tertawa sendiri, jemarinya seolah menekan keypad seperti sedang bermain game dari gawai.
"Sialan, aku kalah!" kini berganti gerakan membanting gawai kemudian menginjak-injaknya. Kemudian berlari ke sudut kamar dan menangis sambil menutup wajah.
Dyah tak kuasa menahan tangis melihat keadaan Bagas. Kembali ia merayu sang suami agar memberikan gawai Bagas. Dyah meyakini semua ini karena Bagas merasa kehilangan gawainya.
"Pak, ayolah berikan HP Bagas. Kasihan, Pak. Lihatlah keadaannya. Aku tak tega, Pak," digoncangnya tubuh Parmin yang diam terpaku. Rupanya dia juga tak mengira akan berakibat separah ini. Tanpa berpikir panjang lagi, diambilnya gawai yang kemarin disita dari Bagas lalu mendekat pada putra keduanya ini. Diserahkannya gawai itu perlahan.
"Prang" bukannya diterima, Bagas malah melemparnya hingga pecah berkeping-keping kemudian tertawa terbahak tapi sejurus kemudian dia menangis dan memunguti repihan gawai yang dibantingnya tadi.
"Bagas, maafkan Bapak. Maafkan kami, Nak. Jangan seperti ini. Iya, kamu boleh pegang HP. Ayo kita beli lagi. Ayo, Nak." Parmin memeluk tubuh Bagas. Namun tak ada tanggapan dari Bagas. Diam, bergeming.
"Pak, apa enggak kasihan dengan Bagas? Dari semalam dia menangis gak berhenti-berhenti," Dyah mencoba melunakkan hati suaminya. Naluri keibuannya tidak tega mendengar suara serak Bagas dari dalam kamar. Setelah semalam Bagas menghancurkan perabot yang ada di dekatnya karena gawainya tetap disita, dia tak kunjung berhenti meraung di dalam kamar seperti orang kesurupan.
"Bu, biarkan saja. Nanti kalau capek pasti berhenti sendiri."
"Tapi, Pak,"
"Sudahlah, Bu. Sekarang kita harus segera kulakan. Jangan sampai terlambat, nanti kita dapat dagangan yang jelek-jelek." Parmin segera mengeluarkan sepeda motor bersiap pergi ke pasar Berbek, tempat mereka kulakan. Dyah tak bisa berbuat apa-apa. Meski hati kecilnya khawatir akan keadaan Bagas, namun dia juga membenarkan perkataan suami.
"Tenang, Dyah semua akan baik-baik saja."
Hari mulai terik, Dyah berulang melihat jam dinding. Sudah pukul tujuh tetapi Doni belum juga mengantar si ragil menyusul ke pasar.
"Pak, sudah jam tujuh. Satria kok belum diantar ke sini ya?" tanyanya pada Parmin setelah pembeli agak sepi. "Seingat ibu, Doni hari ini tidak libur kok. Apa gak sebaiknya Bapak lihat ke rumah?"
"Sebentar, Bu. Nanggung ini sedang belah kelapa," sahut Parmin.
"Bapak, Ibu. Bagas, Bagas Pak, Bu. Doni takut terjadi apa-apa dengannya. Cepat lihat, Pak. Bu." Doni terengah begitu turun dari motor. Sambil menggendong Satria dia berlari menuju bedak milik orang tuanya. Diceritakannya keadaan Bagas yang terus menceracau tidak jelas. Sesekali tertawa tapi sebentar kemudian berteriak tidak jelas.
"Ya Allah, Bapak. Ayo pulang, Pak. Bagas, kamu kenapa?" Dyah menangis sejadi-jadinya. Para pedagang dan pembeli di sekitarnya mengerubung ingin tahu apa yang terjadi. Sebagian hanya berdiam tanpa tahu apa yang harus dilakukan, sebagian menenangkan Dyah dengan memberi minum, ada pula yang mengambil alih menggendong Satria.
"Yes, menang. Rasakan, sudah kubilang benteng pertahananku kuat. Masih saja menantang." Satria tertawa sendiri, jemarinya seolah menekan keypad seperti sedang bermain game dari gawai.
"Sialan, aku kalah!" kini berganti gerakan membanting gawai kemudian menginjak-injaknya. Kemudian berlari ke sudut kamar dan menangis sambil menutup wajah.
Dyah tak kuasa menahan tangis melihat keadaan Bagas. Kembali ia merayu sang suami agar memberikan gawai Bagas. Dyah meyakini semua ini karena Bagas merasa kehilangan gawainya.
"Pak, ayolah berikan HP Bagas. Kasihan, Pak. Lihatlah keadaannya. Aku tak tega, Pak," digoncangnya tubuh Parmin yang diam terpaku. Rupanya dia juga tak mengira akan berakibat separah ini. Tanpa berpikir panjang lagi, diambilnya gawai yang kemarin disita dari Bagas lalu mendekat pada putra keduanya ini. Diserahkannya gawai itu perlahan.
"Prang" bukannya diterima, Bagas malah melemparnya hingga pecah berkeping-keping kemudian tertawa terbahak tapi sejurus kemudian dia menangis dan memunguti repihan gawai yang dibantingnya tadi.
"Bagas, maafkan Bapak. Maafkan kami, Nak. Jangan seperti ini. Iya, kamu boleh pegang HP. Ayo kita beli lagi. Ayo, Nak." Parmin memeluk tubuh Bagas. Namun tak ada tanggapan dari Bagas. Diam, bergeming.
2 Comments
Wah, Bagas kena sydrom... Aduh lupa namanya😅, 🙏
BalasHapusBtw, paragrafnya gemuk2 kek aq😁
Gegara kecanduan game ya gitu
BalasHapusPosting Komentar
Terima kasih telah berkunjung ke dwiresti.com. Mohon tinggalkan komentar yang membangun dan tidak berbau SARA.